Cegah Perundungan disekolah, LBH KUBI gelar penyuluhan di SMA Negeri 1 Pemali

Jumat (23/09/22) yang lalu, SMA Negeri 1 Pemali kedatangan rombongan tamu dari LBH KUBI (Lembaga Bantuan Hukum Keadilan Untuk Bangsa Indonesia) untuk mengadakan penyuluhan bagi peserta didik kelas 12.
Kedatangan rombongan disambut dengan baik oleh para guru, dan peserta didik kelas 12 SMA Negeri 1 Pemali. Kegiatan ini diawali dengan menyanyikan lagu Indonesia Raya; doa; dilanjutkan penyampaian materi oleh ketiga narasumber; sesi tanya-jawab; penyerahan sertifikat dan hadiah, dan foto bersama.
Sebagai moderator, Bagas Pati memperkenalkan dirinya dan memperkenalkan para narasumber yang telah hadir. Narasumber pertama ialah Kanwil Kemenkumham Provinsi Kep. Babel, yaitu Bapak Ferry Yulianto, S.H., M.H. dilanjut dengan narasumber kedua dari Advokat LBH KUBI, yaitu Ibu Lenny Septriani, S.H., M.H. dan narasumber ketiga oleh Ibu Widya Septiana, selaku Paralegal LBH KUBI bagian Perlindungan Perempuan dan Anak.
Para narasumber membawa tema “Penyuluhan Hukum Anti Perundungan dan Kekerasan Seksual bagi Pelajar”.
Bullying merupakan tindakan yang agresif dan manipulatif, dilakukan satu orang atau lebih terhadap orang lain atau beberapa orang dalam kurun waktu tertentu berisi kekerasan, dan melibatkan perbedaan kekuatan.
Dalam menyampaikan materinya Ibu Lenny Septriani, S.H., M.H. (Advokat LBH KUBI) mengatakan, “Bullying sering terjadi disekolah, baik fisik maupun psikis. Karena terjadi disekolah tentunya ada aturan khusus yaitu Pasal 54 UU 35/2014. Dimana anak wajib mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik, psikis, kejahatan seksual dan kejahatan lainnya yang dilakukan pendidik, tenaga kependidikan, sesama peserta didik atau pihak lain. Kekerasan Bullying sering terjadi pada penerimaan siswa baru atau MOS (Masa Orientasi Siswa). Serta adanya perlindungan Permendibud Pasal 1 angka 1 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tetang pencegahan dan penanggulangan tindak kekerasan dilingkungan satuan pendidikan.”
“Perbuatan Bullying diatur dalam UU No 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2022 tentang perlindungan anak (UU 35/2014) bahwa setiap orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan kekerasan terhadap anak. Dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau denda paling banyak Rp. 72 Juta.” Lanjut Lenny Septriani.
Dilanjutkan dengan materi kedua “Pencegahan Kekerasan Seksual Bagi Pelajar”, Widya Septiana menuturkan, “Saat ini banyak sekali kekerasan seksual terjadi dan korbannya adalah masih berstatus siswa atau pelajar. Kekerasan Seksual Adalah perbuatan baik perkataan maupun tindakan yang membuat orang lain terlibat dalam aktivitas seksual yang tidak di inginkannya baik dengan cara manipulasi, dan menguasai serta dibarengi unsur kekerasan. Jenis kekerasan seksual : Pelecehan Seksual Fisik, Pelecehan Seksual Non-fisik, Pemaksaan kontrasepsi; Pemaksaan sterilisasi; Pemaksaan perkawinan; Penyiksaan seksual; Eksploitasi seksual; Perbudakan seksual; dan Kekerasan seksual berbasis elektronik.”
“Taktik DARVO oleh pelaku kekerasan seksual, DARVO merupakan singkatan dari “Deny, Attack, and Reverse Victim and Offender.” atau “Menyangkal, Menyerang, dan Membalikkan Korban dan Pelaku.” DARVO merupakan serangkaian reaksi dan taktik manipulasi yangg kerap dilakukan oleh pelaku kekerasan/pelecehan untuk menyangkal kesalahan mereka, menyerang korban yang sebenarnya, dan membalikkan peran dengan korban seakan pelaku adalah korban atau orang yang dirugikan. Peran hukum dalam mengatasi terjadinya kekerasan seksual Undang-undang No. 12 Tahun 2022 TPKS Pada 9 Mei 2022 yang dinilai lebih pro terhadap perempuan. Unsur sistem hukum Penegakan Hukum : Legal Subtance, Legal Structure, Legal Culture. Tercapai nya tujuan Hukum : Keadilan, Kepastian, Kemanfaatan.” Jelas Paralegal LBH KUBI bagian Perlindungan Perempuan dan Anak.
Dalam sesi tanya-jawab, peserta didik sangat aktif bertanya untuk mengetahui secara mendalam terhadap meteri yang sudah disampaikan oleh para narasumber.
“Apa taktik DARVO yang biasa digunakan oleh pelaku kekerasan seksual?” lontar Martina seorang siswi untuk bertanya.
“Taktik DARVO oleh pelaku kekerasan seksual, DARVO merupakan serangkaian reaksi dan taktik manipulasi yang kerap dilakukan oleh pelaku kekerasan/pelecehan untuk menyangkal kesalahan mereka, menyerang korban yang sebenarnya, dan membalikkan peran dengan korban seakan pelaku adalah korban atau orang yg dirugikan.” Jelas Ibu Widya
Hidayat, seorang siswa bertanya “Apa maksud dari legal substance, legal structure, dan legal culture?”
Unsur dalam sistem penegakan hukum, yaitu legal substance, legal structure, dan legal culture. Legal substance atau substansi hukum ialah unsur dari penegakan hukum yang berupa produk hukum atau aturan/keputusan yang dikeluarkan oleh pihak yang berwenang (UU, Perpres, dan sebagainya). Legal structure atau struktur hukum ialah pihak yang melakukan dan melaksanakan penegakan hukum misalnya, hakim, jaksa, polisi, dan sebagainya. Kemudian, legal culture atau budaya hukum merupakan bagaimana hukum di masyarakat itu dianggap atau dengan kata lain hukum dalam yang berkembang di masyarakat itu sebagai sebuah aturan yang dilaksanakan atau dilanggar.” Jawab Lenny.
“Mengapa perempuan selalu saja menjadi subjek yang disalahkan dalam kasus pelecehan seksual, sesuai dengan apa yang ada di stigma masyarakat?” ucap Agata bertanya.
Ibu Lenny menjawab, “Stigma masyarakat dewasa ini memang masih selalu Lebih banyak menyalahkan perempuan yang menjadi korban ketika terjadi kasus kekerasan seksual atau pelecehan seksual. Perempuan disalahkan atas apa yang mereka lakukan, misalnya perempuan disalahkan karena memakai pakaian mini atau tidak menutupi sebagian tubuh karena itu akan memancing pelaku kejahatan seksual padahal dalam beberapa kasus kekerasan seksual/pelecehan pernah dilakukan kepada perempuan yang mengenakan pakaian yang menutupi seluruh badan”.
“Tindakan bullying dan kekerasan seksual terhadap pelajar masih sangat tinggi. Tindakan bullying terjadi secara fisik maupun psikis bahkan di era digital seperti saat ini tindakan bullying dan kekerasan seksual terjadi media sosial dengan komentar-komentar negatif dan intimidatif. Jangan sampai kita menjadi pelaku bullying dan kekerasan seksual, dan korban jangan pernah diam karena kita bersama korban.” Harapnya. (Jason Siahaan)